Dari
segi pendidikan, putra Cirebon kelahiran Cirebon tahun 1907 ini termasuk
seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi generasinya
yang kelahiran 1907, memperoleh pendidikan H.I.S, MULO, dan selanjutnya tamat
dari A.M.S, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak
negeri. Namun bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu
lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan
tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Ketika Republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian.
Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka
atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato
Bung Karno 'Lahirnya Pancasila', 1 Juni 1945. Saat itulah,
Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari
Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang
dijadikan model pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster
itu? Kebetulan muncul
penyair
Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil
ngomong: "BUNG, AYO BUNG!"
Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang malam
memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari mana kah Chairil memungut
kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu, biasa diucapkan oleh pelacur-pelacur di
Jakarta yang menawarkan dagangannya pada jaman itu.
Bakat melukis yang menonjol pada dirinya pernah enorehkan cerita menarik dalam
kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di
Santiniketan, India, suatu Akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore.
Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah
tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah
diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun limapuluhan,
Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam
pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Frof. Ir. Saloekoe
Poerbodiningrat dsb untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang
konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya
Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi
angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang
dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Lalu apa topik yang diangkat Affandi? "Kita bicara tentang
Perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang Perikebinatangan?" demikianlah dia
memulai orasinya. Tentu saja yang mendengar semua tertawa ger-geran. Affandi
bukan orang humanis biasa. Pelukis yang suka pakai sarung, juga ketika
dipanggil ke istana semasa Suharto masih berkuasa dulu, intuisinya sangat
tajam. Meskipun hidup di jaman teknologi yang sering diidentikkan jaman modern
itu, dia masih sangat dekat dengan fauna, flora dan alam semesta ini. Ketika
Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat
terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat),
organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim
Soeharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk
Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam
cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan
imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi
mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun,
pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa
Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu.
Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan
Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman
itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari
University of Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang
menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya
sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang
dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal
demikianlah yang menambah daya tariknya.
Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis
besar lainnya seperti
Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan
keistimewaan karya-karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai
sebutan dan julukan membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis
Ekspressionis Baru Indonesia bahkan julukan Maestro. Adalah Koran International
Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia,
sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.
Berbagai penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria
yang hampir seluruh hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya,
pada tahun 1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian dari International Dag
Hammershjoeld. Bahkan Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di
Castelo San Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya menjadi anggota Akademi
Hak-Hak Azasi Manusia.
Dari dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah
diterimanya, di antaranya, penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang
dianugrahkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Dan sejak 1986 ia
juga diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di
Yogyakarta. Bahkan seorang
penyair Angkatan 45 sebesar
Chairil Anwar pun pernah menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya
yang berjudul Kepada Pelukis Affandi.
Untuk menghargai karya-karya besarnya, berbagai lembaga atau yayasan juga
berusaha mengabadikan kenang-kenangan pelukis besar ini. Pada tahun 1976, Prix
International Dag Hammerskjoeld telah menerbitkan sebuah buku kenang-kenangan
tentang "Affandi". Buku setebal 189 halaman lebih itu diterbitkan
dalam 4 bahasa, yaitu dalam bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Indonesia.
Demikian juga Penerbitan Yayasan Kanisius, telah menerbitkan sebuah buku
tentang Affandi karya Nugraha Sumaatmadja pada tahun 1975.
Begitu pula dalam rangka memperingati 70 tahun Affandi pada tahun 1978, Dewan
Kesenian Jakarta pun menerbitkan buku "Affandi 70 Tahun" susunan Ajip
Rosidi, Zaini, Sudarmadji. Dan dalam rangka memperingati 80 tahun Affandi di
tahun 1987, Yayasan Bina Lestari Budaya Jakarta, menerbitkan sebuah buku
tentang "Affandi". Buku yang disusun oleh Raka Sumichan dan
Umar Kayam setebal 222 halaman lebih itu diterbitkan dalam dua bahasa yakni
bahasa Inggris dan Indonesia.
Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni
lukis, Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Di negara India,
dia telah mengadakan pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di
berbagai negara di Eropa, Amerika serta Australia. Di Eropa, ia telah mengadakan
pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris dan Roma. Begitu juga
di negara-negara benua Amerika seperti di Brazilia, Venezia, San Paulo, dan
Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai
belahan dunia.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok
yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan
tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila
memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak,
seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.
Namun, Affandi memilih Sokasrana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh
wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah
yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi
(Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh
seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang
digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self portrait Affandi tahun 1974,
saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus
kediamannya di tepi Kali Gajahwong
Yogyakarta.
Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung
sendiri ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para
kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran
ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya, ''Aliran apa
itu?''.
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan
ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang
kecil dan renik dianggapnya momok besar.
Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis
kerbau, julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin
karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh.
Sikap ''sang maestro'' yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara
nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai
pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang
dipilihnya, dia tidak overacting.
Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng,
dia menjawab, ''Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak
pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan.'' Bagi Affandi,
melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan
elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai ''tukang gambar''.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk
disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga.
''Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis,'' ucapnya.
Dari segi produktifitas, Affandi termasuk pelukis yang cukup produktif. Menurut
Affandi sendiri, dia telah melukis lebih dari 2.000 buah lukisan dan sekitar
300 buah lukisan koleksi pribadinya kini disimpan di Museum Affandi,
Jogyakarta. Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu dalam sejarahnya telah pernah
dikunjungi oleh Mantan
Presiden Soeharto dan Mantan Perdana
Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala keduanya masih
berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat
tinggalnya.
Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai
pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dikuburkan tidak
jauh dari Museum yang didirikannya itu.
Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an
di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di
galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal
karirnya hingga selesai, sehingga tidak dijual. Sedangkan galeri II adalah
lukisan teman-teman Affandi baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal
seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan
lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang
lukisan-lukisan terbaru
Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain "Apa
yang Harus Kuperbuat" (Januari 99), "Apa Salahku? Mengapa ini Harus
Terjadi" (Februari 99), "Tidak Adil" (Juni 99), "Kembali
Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya" (Juli 99), dan
lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar