Dia
pionir yang mengembangkan seni lukis modern khas Indonesia. Pantas saja
komunitas seniman, menjuluki pria bernama lengkap Sindudarsono Sudjojono yang
akrab dipanggil Pak Djon iini dijuluki Bapak Seni Lukis Indonesia Baru. Dia
salah seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) di Jakarta
tahun 1937 yang merupakan awal sejarah seni rupa modern di Indonesia.
Sindudarsono Sudjojono
Pelukis besar kelahiran Kisaran, Sumatra Utara, 14 Desember 1913, ini sangat
menguasai teknik melukis dengan hasil lukisan yang berbobot. Dia guru bagi
beberapa pelukis Indonesia. Selain itu, dia mempunyai pengetahuan luas tentang
seni rupa. Dia kritikus seni rupa pertama di Indonesia.
Ia seorang nasionalis yang menunjukkan pribadinya melalui warna-warna dan
pilihan subjek. Sebagai kritikus seni rupa, dia sering mengecam Basoeki
Abdullah sebagai tidak nasionalistis, karena melukis
perempuan cantik dan pemandangan alam. Sehingga Pak Djon dan Basuki dianggap
sebagai musuh bebuyutan, bagai air dan api, sejak 1935.
Tapi beberapa bulan sebelum Pak Djon meninggal di Jakarta, 25 Maret 1985,
pengusaha Ciputra mempertemukan Pak Djon dan Basuki bersama
Affandi dalam pameran bersama di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Sehingga
Menteri P&K Fuad Hassan, ketika itu, menyebut pameran bersama ketiga
raksasa seni lukis itu merupakan peristiwa sejarah yang penting.
Pak Djon lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, buruh perkebunan di
Kisaran,
Sumatera Utara. Namun sejak usia empat tahun, ia menjadi anak asuh.
Yudhokusumo, seorang guru HIS, tempat Djon kecil sekolah, melihat kecerdasan
dan bakatnya dan mengangkatnya sebagai anak. Yudhokusumo, kemudianmembawanya ke
Batavia tahun 1925.
Djon menamatkan HIS di Jakarta. Kemudian SMP di Bandung dan SMA Taman Siswa di
Yogyakarta. Dia pun sempat kursus montir sebelum belajar melukis pada RM
Pirngadie selama beberapa bulan dan pelukis Jepang Chioji Yazaki di Jakarta.
Bahkan sebenarnya pada awalnya di lebih mempersiapkan diri menjadi guru
daripada pelukis. Dia sempat mengajar di Taman Siswa. Setelah lulus Taman Guru
di Perguruan Taman Siswa
Yogyakarta, ia ditugaskan
Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Madiun tahun 1931.
Namun, Sudjojono yang berbakat melukis dan banyak membaca tentang seni lukis
modern Eropa, itu akhirnya lebih memilih jalan hidup sebagai pelukis. Pada
tahun 1937, dia pun ikut pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Jakarya,
Jakarta. Keikutsertaannya pada pameran itu, sebagai awal yang memopulerkan
namanya sebagai pelukis.
Bersama sejumlah pelukis, ia mendirikan Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar
Indonesia), 1937. Sebuah serikat yang kemudian dianggap sebagai awal seni rupa
modern Indonesia. Dia sempat menjadi sekretaris dan juru bicara Persagi.
Sudjojono, selain piawai melukis, juga banyak menulis dan berceramah tentang
pengembangan seni lukis modern. Dia menganjurkan dan menyebarkan gagasan,
pandangan dan sikap tentang lukisan, pelukis dan peranan seni dalam masyarakat
dalam banyak tulisannya. Maka, komunitas pelukis pun memberinya predikat: Bapak
Seni Lukis Indonesia Baru.
Lukisannya punya ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja
ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol pada pemandangan alam, sosok
manusia, serta suasana. Pemilihan objek itu lebih didasari hubungan batin,
cinta, dan simpati sehingga tampak bersahaja. Lukisannya yang monumental antara
lain berjudul: Di Depan Kelambu Terbuka, Cap Go Meh, Pengungsi dan Seko.
Dalam komunitas seni-budaya, kemudian Djon masuk Lekra, lalu masuk PKI. Dia
sempat terpilih mewakili partai itu di parlemen. Namun pada 1957, ia membelot.
Salah satu alasannya, bahwa buat dia eksistensi Tuhan itu positif, sedangkan
PKI belum bisa memberikan jawaban positif atas hal itu. Di samping ada alasan
lain yang tidak diungkapkannya yang juga diduga menjadi penyebab Djon
menceraikan istri pertamanya, Mia Bustam. Lalu dia menikah lagi dengan
penyanyi
penyanyi Seriosaseriosa, Rose Pandanwangi. Nama isterinya ini lalu
diabadikannya dalam nama Sanggar Pandanwangi. Dari pernikahannya dia
dianugerahi 14 anak.
Di tengah kesibukannya, dia rajin berolah raga. Bahkan pada masa mudanya, Djon
tergabung dalam kesebelasan Indonesia Muda, sebagai kiri luar, bersama Maladi (bekas
Menteri penerangan dan olah raga) sebagai kiper dan Pelukis Rusli kanan luar.
Itulah Djon yang sejak 1958 hidup sepenuhnya dari lukisan. Dia juga tidak
sungkan menerima pesanan, sebagai suatu cara profesional dan halal untuk
mendapat uang. Pesanan itu, juga sekaligus merupakan kesempatan latihan membuat
bentuk, warna dan komposisi.
Ada beberapa karya pesanan yang dibanggakannya. Di antaranya, pesanan pesanan
Gubernur DKI, yang melukiskan adegan pertempuran Sultan Agung melawan Jan
Pieterszoon Coen, 1973. Lukisan ini berukuran 300310 meter, ini dipajang di
Museum DKI Fatahillah.
Secara profesional, penerima Anugerah Seni tahun 1970, ini sangat menikmati
kepopulerannya sebagai seorang pelukis ternama. Karya-karyanya diminati banyak
orang dengan harga yang sangat tinggi di biro-biro lelang luar negeri. Bahkan
setelah dia meninggal pada tanggal 25 Maret 1985 di Jakarta, karya-karyanya
masih dipamerkan di beberapa tempat, antara lain di: Festival of Indonesia
(USA, 1990-1992); Gate Foundation (Amsterdam, Holland, 1993); Singapore Art
Museum (1994); Center for Strategic and International Studies (Jakarta,
Indonesia, 1996); ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia,
1997-1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar